Selasa, 15 September 2015

tugas makalah bahasa indonesia_fiqh empat madzhab




FIQIH EMPAT MADZHAB




MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
 Bahasa Indonesia
Yang diampu oleh Ibu Dewi Ariyani, S.Pd., M.Pd.






Disusun Oleh:
               Fahimatul Alamiyah                      (14220087)     
               Siti Maryam                                   (14220106)












JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014



PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke Negara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran fiqih dari zaman sahabat, taabiin hingga munculnya madzhab-madzhab fiqih pada periode ini. Dari sini pula kita dapat merumuskan apa sebab-sebab munculnya madzhab pada periode ini, namun madzhab-madzhab muncul pada periode ini tidak terbatas pada empat madzhab.
Untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan suatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga, yakni; perbedaan sahabat dalam memahami nash-nash Al-Quran, perbedaan riwayat dan ra’yu.
Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasa penting. Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi pemikiran Islam, atau lebih tepatnya aktual working bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan secara amat dominan, fiqih - terutama fiqih abad pertengahan - mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.
Jika kita telusuri sejak saat kehidupan Nabi Muhammad SAW, para sejarawan sering membaginya dalam dua priode yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Pada periode pertama risalah kenabian berisi ajaran-ajaran akidah dan akhlaq, sedangkan pada periode kedua risalah kenabian lebih banyak berisi hukum-hukum. Dalam mengambil keputusan masalah amaliyah sehari-hari para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri, karena mereka dapat langsung bertanya kepada Nabi jika mereka mendapati suatu masalah yang belum mereka ketahui. Aliran pertama, yang berpusat di Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak menggunakan hadis dan pendapat-pendapat sahabat, serta memahaminya secara harfiah. Sedangkan aliran kedua, yang berpusat di Irak, banyak menggunakan rasio dalam merespon persoalan baru yang muncul.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum tersebut merupakan sebuah hasil penelitian (ijtihad), hal ini tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, akan tetapi sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi pada sebuah hadits :
اختلاف أمتى رحـمة...
Artinya :“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat”[1]
Ini berarti, bahwa manusia bebas memilih salah satu pendapat dari berbagai pendapat dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.
Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar belakang dan sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih, khususnya pada empat mazhab yaitu Mazhab Hanafiyah, Mazhab Malikiyah, Mazhab Syafi’iyah dan Mazhab Hambaliyah serta beberapa hal lain yang berhubungan dengan keempat mazhab tersebut.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut.
1.      Apa pengertian Madzhab?
2.      Dapatkah umat Islam hanya menganut satu madzhab fiqih saja?
3.      Apa dampak positif dan negatif dari adanya madzhab?

C.      Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat disusun tujuan pembahasan sebagai berikut.
1.      Untuk memaparkan tenang pengertian madzhab.
2.      Supaya pembaca mengetahui boleh atau tidaknya umat Islam hanya menganut satu madzhab dari keempat madzhab fiqih.
3.      Untuk memaparkan tentang dampak positif dan negatif dari adanya madzhab.


PEMBAHASAN

A.      Pengertian Madzhab
Secara bahasa, kata madzhab (مذهب) merupakan kata bentukan dari kata dasar dzahaba (ذهب) yang artinya pergi. Madzhab adalah bentuk isim makan dan juga bisa menjadi isim zaman dari kata tersebut, sehingga bermakna:
الطريق ومكان الذهاب وزمانه
Artinya: Jalan atau tempat untuk pergi, atau waktu untuk pergi.
Sedangkan  pengertian mazhab menurut istilah adalah aliran pemikiran atau perspektif di bidang fiqih yang dalam proses perjalanannya menjadi sebuah komunitas dalam masyarakat islam di berbagai aspek agama.  Mazhab adalah jalan pemikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Quran dan Hadits. Jadi, mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid untuk memecahkan masalah atau menisbatkan hukum islam. Selanjutnya Imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat islam yang mengikuti istinbath Imam mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat imam mujtahid tentang masalah hukum islam.
Ahmad ash-Shawi al-Maliki menyebutkan bahwa makna etimologis dari madzhab adalah :
محل الذهاب كالطريق المحسوسة
Artinya: Tempat untuk pergi, seperti jalanan secara fisik.
Adapun makna madzhab secara istilah yang digunakan dalam ilmu fiqih, didefinisikan sebgai:
ما ذهب إليه إمام من الأئمة في الأحكام الإجتهادية
Artinya: Pendapat yang diambil oleh seorang imam dari para imam dalam masalah yang terkait dengan hukum-hukum ijtihadiyah.
Pendapat yang diambil oleh seorang imam ini kemudian diikuti oleh muridnya dari generasi ke generasi, inilah yang kemudian dikenal sebagai madzhab fiqih.

1.        Riwayat Singkat Imam-imam Madzhab
1.)    Riwayat Singkat Imam Abu Hanifah (80 -150 H)
Imam Abu Hanifah bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al-Kufi, lahir di Kufah, Irak pada tahun 80 H. Ia hidup pada dua masa kekhalifahan yaitu Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan dan Bani Abbasiyyah. Ia diberi gelar Abu Hanifah (suci, lurus) karena sesungguhnya sejak kecil ia berakhlak mulia, dan menjauhi perbuatan dosa dan keji.
Abu Hanifah berasal dari keluarga berbangsa Persia (Kabul-Afganistan), ia dinamai an-Nu’man sebagai ungkapan rasa simpati kepada salah seorang raja Persia yang bernama Muhammad Nu’man bin Marwan (khalifah dari Bani Umayyah yang ke V).  Abu Hanifah termasuk salah seorang tabi’in, beliau bertemu dengan sahabat Anas bin Malik dan meriwayatkan hadits darinya.
Imam Abu Hanifah belajar ilmu fiqih dari Hammad bin Abu Sulaiman selama 18 tahun. Setelah gurunya wafat, maka penduduk Kufah menyerahkan persoalan fiqih dan masalah-masalah yang mereka hadapi kepada Abu Hanifah. Pada tahun 130 H beliau pergi ke Mekaah menetap untuk beberapa tahun, serta bertemu dengan murid Ibnu Abbas. Imam Abu Hanifah meninggal pada tahun 150 H di Baghdad.
a.       Pemikiran Madzhab Imam Hanafi
Madzhab Hanafi dikenal sebagai Imam Ahlurra’yi dan fiqih dari Irak. Ia dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum, yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama dalam madzhab ini meninggalkan kaidah qiyas dan menggunakan kaidah istihsan. Muhammad Salam Madkur menguraikan karakteristik manhaj Hanafi sebagai berikut :
Fiqih Hanafi membekas kepada ahli Kufah yang mengembangkan aplikasi adat, qiyas, dan istihsan. Bahkan dalam tingkatan imam, ia sering melewatkan beberapa persoalan; yakni apabila tidak ada nash, ijma, dan qaul sahabat kepada qiyas, dan apabila qiyasnya buruk (tidak rasional), Imam Hanafi meninggalkannya dan beralih ke istihsan, dan apabila tidak meninggalkan qiyas, Imam Hanafi mengembalikan kepada apa-apa yang telah dilakukan umat Islam dan apa-apa yang telah diyakini oleh umat islam, begitulah hingga tercapai tujuan berbagai masalah. Alasannya ialah, kaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka dinilai sebagai hadits ahad.
Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqih) di kalangan madzhab Hanafi adalah :
1)   Al-Quran
2)  Sunnah Rasulullah SAW
3)  Ijma sahabat
4)  Qiyas
5)  Istihsan
6)  Ijma dan Urf.
Berbagai pendapat Abu Hanifah yang dibukukan oleh muridnya antara lain sebagai berikut:
a.  Zhahir ar-Riwayah dan an-Nawadir  yang dibukukan oleh Muhammad bin Hasan Asy-Syaibany
b.  Al-Kafi yang dibukukan oleh Abi Al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Maruzi  (w. 344 H)
c.   Al-Mabsut (syarah Al-Kafi dan dianggap sebagai kitab induk madzhab Hanafi) yang dibukukan pada abad ke-5 oleh Imam as-Sarakhsy
d.  Al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibnu Abi Laila, yang dilestarikan oleh Imam Abu Yusuf yang dikenal sebagai peletak dasar usul fiqh madzhab Hanafi
Madzhab Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih. Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antara latar belakangnya adalah:
·         Karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka beliau lebih memilih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i.
·         Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum masa imam Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits.

2.)    Riwayat Singkat Imam Malik (93 – 179 H)
Imam Malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Abi Amir al-Asbahi. Ia lahir di Madinah pada tahun 93 H / 712 M. Nama al-Asbahi, nisbah pada Asbah salah satu kabilah di Yaman tempat salah satu kakeknya datang ke Madinah dan ia tinggal di sana. Kakeknya tertinggi Abu Amir adalah sahabat Nabi SAW dan mengikuti perang bersamanya kecuali perang Badar.
Imam Malik belajar agama dari ulama-ulama Madinah, diantaranya adalah: Nafi’ maula Ibnu Umar, Ibnu Syahab az-Zuhri, Rabi’ah dan lainnya. Kecintaannya terhadap ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Di antara murid beliau adalah Ibnu Mubarak, al-Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahab, Ibnu Qasim, al-Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al-Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, al-Auza’i, Sufyan ats-Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as-Sahmi, az-Zubairi, dan lain-lain. Imam Malik meninggal di Madinah tahun 179 H pada usia 86 tahun.
a.       Pemikiran Madzhab Imam Maliki
Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqih madzhab Maliki tersebut dalam empat hal sebagai berikut.
1)  Al-Quran
2)  Sunnah Rasulullah SAW
3) Amal penduduk madinah
4)  Qiyas
Alasannya, menurut Imam Maliki, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya merupakan bagian dari sunnah Nabi SAW. Menurut para ahli ushul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan oleh madzhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas. Kitab yang disusun oleh imam Malik berjudul al-Muwatha’.

3.)    Riwayat Singkat Imam Syafi’i (150 – 203 H)
Imam Syafi’i bernama lengkap Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Ustman bin Syafi bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abd Yazid bin Hasyim bin Abd al-Muthalib bin Abd Manaf. beliau lahir di Gaza (Palestina), pada tahun 150 H/756 M, berasal dari keturunan bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di ‘Abd Manaf (kakek ketiga Rasulullah SAW).
Kecerdasan Imam Syafi’i telah terlihat ketika berusia 7 tahun. Saat itu beliau telah menghafal seluruh ayat Al-Quran dengan lancar. Imam Syafi’i menekuni bahasa Arab di Dusun Badui Hundail selama beberapa tahun, kemudian kembali ke Mekah dan belajar fiqih kepada Imam Muslim bin Khalid az-Zanni yang juga mufti kota Mekah pada saat itu.  Selanjutnya beliau belajar kepada Imam Malik di Madinah setelah beliau menghafal kitab al-Muwatha’ karangan Imam Malik. Kemudian beliau ke Irak bertemu dan menimba ilmu kepada murid Imam Abu Hanifah, yakni Muhammad bin Hasan. Di Irak inilah pendapat-pendapat beliau yang dikenal dengan Qaul Qodim. Selanjutnya beliau pindah ke Mesir pada tahin 198 H. Ketika pindah ke Mesir ini beliau menyusun pendapat yang baru yang dikenal dengan Qaul Jadid. Beliau meninggal di Mesir pada tahun 204 H.
Meskipun beliau menguasai hampir seluruh disiplin ilmu tetapi Imam Syafi’i lebih dikenal sebagai ahli hadits dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Beliau meninggal dunia setelah 6 tahun tinggal di Mesir dan mengembangkan madzhabnya dengan jalan lisan dan tulisan serta sudah mengarang kitab ar-Risalah (dalam ushul fiqh) dan beberapa kitab lainnya.
a.       Pemikiran Madzhab Imam Syafi’i
Keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fiqih dan hadits pada zamannya diakui sendiri oleh para ulama pada masanya. Sebagai orang yang hidup pada zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra’yi, Imam Syafi’i berupaya untuk mendekatkan kedua aliran ini. Oleh karena itu, ia belajar kepada Imam Maliki sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra’yi. Dalam penetapan hukum Islam, Imam Syafi’i menggunakan;
1)  Al-Quran
2)  Sunnah Rasulullah SAW
3)  Ijma
4)  Qiyas
Imam Syafi’i menolak istihsan sebagai salah satu cara mengistinbathkan hukum syara’. Penyebarluasan pemikiran madzhab Syafi’i diawali melalui kitab ushul fiqihnya ar-Risalah dan kitab fiqihnya al-Umm, kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya yaitu Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H/846 M) seorang ulama besar Mesir, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H/878 M), dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H).

4.)    Riwayat Singkat Imam Hambali (164 -241 H)
Imam Hambali bernama Abu Abdullah Ahmad bin Hambal asy-Syaibani, lahir di Mirwa (Baghdad) pada tahun 164 H . Nasabnya bertemu dengan Nabi SAW pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Ia dibesarkan oleh ibunya lantaran sang ayah meninggal dunia pada masa muda, pada usia 16 tahun, keinginannya yang besar membuatnya belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama yang ada di Baghdad.
Kepandaian Imam Hambali dalam ilmu hadits tidak diragukan lagi, putera sulungnya yakni, Abdullah bin Ahmad mengatakan bahwa Imam Hambali telah hafal 700.000 hadits di luar kepala. Hadits sebanyak itu kemudian diseleksinya secara ketat dan ditulis kembali dalam kitabnya al-Musnad berjumlah 40.000 hadits berdasarkan susunan nama sahabat yang meriwayatkan. Kemampuan dan kepandaiannya mengundang banyak tokoh ulama yang berguru kepadanya dan melahirkan banyak ulama dan pewaris hadist terkenal semisal Imam Bukhari dan Imam Muslim. Ahmad bin Hambal meninggal pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 241 H.



a.       Pemikiran Madzhab Imam Hambali
Imam Ahmad adalah seorang pakar hadits dan fiqih. Imam Syafi’i berkata, ”Saya keluar dari Baghdad dan tidaklah saya tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa dan paling faqih melebihi bin Hambal”.
Di antara murid Imam Ahmad adalah putra-putra beliau yakni Shalih bin Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Ahmad bin Hambal . Shalih bin Ahmad lebih menguasai fiqih dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadits. Murid yang lain adalah al-Atsram dipanggil Abu Bakar dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad , Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mihran , Abu Bakar al-Khallal , dan Abul Qasim. Salah satu kitab fiqih madzhab Hambali adalah “al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.
Prinsip dasar Madzhab Hambali adalah sebagai berikut.
1. An-Nusus (jamak dari nash), yaitu Al-Quran, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’;
2. Fatwa Sahabat;
Jika terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Quran dan sunnah Nabi SAW;
3. Hadits mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma’;
4. Apabila dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hambal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Madzhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad bin Hambal. Kemudian dalam perkembangan Madzhab Hanbali generasi berikutnya, madzhab ini juga menerima istihsan, sadd az-zari’ah, urf; istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Para pengembang Madzhab Hambali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin Hambal) di antaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Baghdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali Al-Husain Al-Khiraqi Al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Madzhab Hambali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hambal, dan masing-masing menyusun buku fiqih sesuai dengan prinsip dasar Madzhab Hambali di atas.
Tokoh lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Madzhab Hambali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya setuju dengan pendapat fiqih Imam Ahmad bin Hambal, mereka dikenal sebagai pengembang dan pembaru Madzhab Hambali. Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan penyebarluasan Madzhab Hambali juga sangat besar. Pada zamannya, Madzhab Hambali menjadi madzhab resmi Kerajaan Arab Saudi.
Berdasarkan riwayat di atas dapat dilihat bahwa imam madzhab yang pertama (Imam Abu Hanifah) berjarak 69 tahun  dari wafat Nabi Muhammad SAW yakni tahun 11 H, Imam Malik hidup sezaman dengan Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, tetapi Imam Syafi’i dan Imam Ahmad tidak sezaman dengan Imam Abu Hanifah.

2.        Perbedaan Pendapat Imam Madzhab
Perbedaan pendapat di antara imam Madzhab dalam satu masalah fiqih sangat banyak, berikut ini diberikan beberapa contoh perbedaan tersebut, di antaranya.
a.       Mengusap kepala dalam wudlu
-          Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat satu kali,
-          Imam Syafi’i berpendapat tiga kali.
b.      Menyentuh Kemaluan setelah wudlu
-          Imam Abu Hanifah berpendapat tidak membatalkan wudlu secara mutlak.
-          Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat membatalkan wudlu secara mutlak.
-          Imam Ahmad berpendapat tidak wajib wudlu hanya disunahkan.
c.       Menyentuh wanita tanpa penghalang (pembatas)
-          Imam Syafi’i berpendapat batal wudlu secara mutlak.
-          Imam Abu Hanifah berpendapat tidak batal wudlu secara mutlak.
-          Imam Malik dan Ahmad berpendapat batal wudlu jika diiringi syahwat.
d.      Duduk dalam sholat
-          Imam Abu Hanifah: duduk iftirosy baik untuk tasyahud awal maupun tasyahud akhir.
-          Imam Malik : duduk tawaruk baik untuk tasyahud awal maupun tasyahun akhir.
-          Imam Syafi’i: duduk iftirosy untuk tasyahud awal dan duduk tawaruk untuk tasyahud akhir.
-          Imam Ahmad: duduk iftirosy untuk shalat yang 2 rekaat, dan seperti madzhab Syafi’i untuk sholat yang 3 atau 4 rekaat.
e.       Sholat jamaah bagi laki-laki
-          Imam Ahmad berpendapat fardlu ‘ain kecuali bila ada udzur.
-          Imam Syafi’i, Abu Hanifah, dan Malik berpendapat tidak fardlu ‘ain.
f.       Tentang daging Katak
-          Imam Malik mengatakan boleh dimakan.
-          Imam Ahmad mengatakan tidak boleh dimakan
g.      Tentang daging Kuda
-          Imam Syafi’i dan Ahmad mengatakan kuda itu halal.
-          Imam Malik mengatakan kuda itu makruh.
-          Imam Abu Hanifah mengatakan kuda itu haram.
Dan masih banyak lagi perbedaan perbedaan pendapat di antara imam madzhab dalam masalah fiqih. Perbedaan pendapat di antara imam madzhab tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
·         Adakalanya seorang Imam tidak mendapatkan suatu hadits tentang suatu masalah, maka beliau menggunakan qiyas atau fikiran, sedangkan imam yang lain mendapatkan hadits dalam masalah tersebut.
·         Adakalanya seorang Imam mengeluarkan pendapatmya dari suatu hadits atau riwayat yang dianggapnya shahih, padahal bagi yang lain  hadits itu dianggap tidak shahih.
·         Ada juga para imam itu tidak mendapatkan suatu hadits untuk suatu masalah sehingga masing-masing menggunakan qiyas atau fikiran, sedang dikemudian hari orang mendapatkan hadits itu.
·         Pemikiran para imam dalam menimbang suatu masalah berbeda, sehingga keputusannyapun berbeda.

B.   Para Imam Tidak Mewajibkan Menganut Satu Madzhab
Sering kali orang menanyakan madzhab yang dianut oleh orang lain, bahkan kadang-kadang ditekankan bahwa wajib untuk mengikuti salah satu madzhab tertentu. Di dalam Agama Islam tidak ada satupun dalil dari Allah dan Rasul-Nya untuk mengikuti salah satu madzhab tertentu. Umat Islam hanya diperintahkan untuk mengikuti kebenaran, sedangkan kebenaran hanya terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW. Perhatikan petunjuk-petunjuk Allah SWT sebagai berikut:

Firman Allah SWT:
وَاتَّبِعُوااَحْسَنَ مَااُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ...
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” [2]
Tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran adalah sebaik-baik apa yang Allah turunkan kepada kita, dan sunnah Nabi SAW menjelaskan isi kandungan Al-Quran tersebut. Dalam ayat tersebut Allah mengancam orang-orang yang enggan mengikuti Al-Quran dengan azab yang datang dengan tiba-tiba.
ثمَّ اتَيْنَامُوْسَ الْكِتَابَ تَمَامًاعَلَى الَذِى اَحْسَنَ وَتَفْصِيْلًالَكُلِّ شَىْءٍوَهُدًى وَرَحْمَةً لَعَلَّهُمْ بِلِقَاءِرَبِّهِمْ يُؤْمِنُوْنَ...
“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” [3]
Jalan Allah SWT yang lurus adalah Al-Qur’an, maka Allah SWT perintahkan manusia supaya mengikuti Al-Quran jangan mengikuti jalan-jalan selain Al-Quran, karena hanya dengan mengikuti Al-Quran maka orang dapat menjadi bertakwa.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةً لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْااللهَ وَالْيَوْمَ الْأَخِرَوَذَكَرَاللهَ كَثِيْرًا...
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [4]
Suri teladan bagi orang yang beriman adalah Rasulullah SAW, meneladani rasulullah berarti mengikuti sunnah-sunnah beliau.
قُلْ اِنْكُنْتُمُ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونى يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌرَحِيْمٌ...
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [5]
Jalan untuk memperoleh kasih sayang dan ampunan Allah SWT adalah dengan mencintai-Nya, untuk dapat mencintai Allah SWT maka umat Islam harus mentaati dan mengikuti petunjuk Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, umat Islam tidak diwajibkan mengikuti pendapat seseorang dalam beramal, melainkan wajib mengikuti Al-Quran dan Sunnah, Syaihul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa tidak wajib bagi umat Islam untuk bertaqlid kepada seorang ulama dalam setiap pendapatnya dan tidak wajib mengikatkan diri dengan salah satu madzhab. Umat Islam hanya boleh mengikatkan diri dengan apa yang dikatakan oleh Rasul, bukan selainnya. Beliau berdalil dengan firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 59 di atas.

C.      Dampak Adanya Madzhab Terhadap Perkembangan Fiqih
a.      Dampak Positifnya
Adanya madzhab-madzhab tersebut berarti memberikan peluang yang cukup signifikan terhadp fiqh islam untuk berkembang dan bahkan berpeluang untuk tersebar lebih luas.
b.      Dampak Negatif
Sesudah munculnya madzhab-madzhab muncul pula pola pikir fanatis terhadap madzhab yang berdampak terhadap semakin menipisnya sikap toleransi bermadzhab dan bahkan berdampak terhadap persaingan yang kurang sehat dan bahkan lebih dari itu berdampak terhadap terjadinya permusuhan akibat fanatisme madzhab yang berlebihan.
 Setelah munculnya madzhab-madzhab fiqih tersebut, muncul pula anggapan bahwa pintu ijtihad ditutup.



PENUTUP
A.      Simpulan
Kalimat Madzhab berasal dari bahasa Arab yang bersumber dari kalimat Dzahaba, kemudian diubah kepada isim maf’ul yang berarti “sesuatu yang dipegang dan diikuti”, dalam makna lain pendapat yang dipegang atau diikuti disebut madzhab, dengan begitu madzhab adalah “suatu pegangan bagi seseorang dalam berbagai masalah”, mungkin lebih kita kenal lagi dengan sebutan aliran kepercayaan atau sekte, bukan hanya dari permasalahan Fiqih tetapi juga mencakup permasalahan Aqidah, Tashawuf, Nahwu, Shorof, dan Iain-lain.
Sering kali orang menanyakan madzhab yang dianut oleh orang lain, bahkan kadang-kadang ditekankan bahwa wajib untuk mengikuti salah satu madzhab tertentu. Di dalam Agama Islam tidak ada satupun dalil dari Allah dan Rasul-Nya untuk mengikuti salah satu madzhab tertentu. Umat Islam hanya diperintahkan untuk mengikuti kebenaran, sedangkan kebenaran hanya terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
Dampak positif adanya madzhab-madzhab tersebut berarti memberikan peluang yang cukup signifikan terhadp fiqh islam untuk berkembang dan bahkan berpeluang untuk tersebar lebih luas. Dampak negatif dari adanya madzhab-madzhab adalah dengan munculnya pula pola pikir fanatis terhadap madzhab yang berdampak terhadap semakin menipisnya sikap toleransi bermadzhab dan bahkan berdampak terhadap persaingan yang kurang sehat dan bahkan lebih dari itu berdampak terhadap terjadinya permusuhan akibat fanatisme madzhab yang berlebihan. Setelah munculnya madzhab-madzhab fiqih tersebut, muncul pula anggapan bahwa pintu ijtihad ditutup.

B.       Saran
1.      Untuk Pengajar
….
2.      Untuk Siswa
…..
Keterbatasan pengetahuan kami membuat kami sebagai penulis hanya bisa membuat makalah ini apa adanya, dari hasil referensi-referensi yang kami ambil dari buku-buku yang ada di perpustakaan pusat kampus Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang. Untuk pembaca yang berminat membuat tugas makalah seperti  kami, disarankan untuk membuat makalah yang lebih baik dari yang kami susun ini, sehingga hasil yang didapatkan mungkin akan menghasilkan karya yang lebih baik dari makalah yang kami susun ini. Kritik dan saran dari pembaca tentunya sangat kami harapkan untuk kesempurnaan penyusunan makalah-makalah kami yang selanjutnya. Semoga makalah yang telah kami susun ini bermanfaat bagi pembaca dan kita semua.




DAFTAR RUJUKAN

Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI

Abu Malik Kamal bin as-Sayid Salim. 2006, Shahih Fiqih Sunnah jilid 1, Jakarta: Pustaka At-Tazkia.

Tanpa Nama. Tanpa Tahun. Mengkaji Posisi Madzhab Fiqih dalam Peradaban Keilmuan Islam, Dulu dan Sekarang. (Online), (http://www.Abufurqon.com), diakses tanggal 20 November 2014.

Tanpa Nama. Tanpa Tahun. Pemikiran Empat Madzhab Fikih. (Online), (http://www.punyasuhanda.blogspot.com), diakses tanggal 20 November 2014.


[1] HR. Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyyah
[2] Al-Quran dan Terjemahnya, Surat az-Zumar ayat 55
[3] Al-Quran dan Terjemahnya, Surat  al-An’am ayat 153
[4] Al-Quran dan Terjemahnya, surat  al-Ahzab ayat 21
[5] Al-Quran dan Terjemahnya, surat  Ali Imron ayat 31