FIQIH EMPAT
MADZHAB
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
“Bahasa Indonesia”
Yang diampu oleh Ibu Dewi Ariyani,
S.Pd., M.Pd.
Disusun Oleh:
Fahimatul Alamiyah (14220087)
Siti Maryam (14220106)
JURUSAN HUKUM
BISNIS SYARIAH
FAKULTAS
SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana
diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru,
banyak sahabat nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke Negara
yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan dari mata rantai sejarah ini
jelas terlihat bahwa pemikiran fiqih dari zaman sahabat, taabiin hingga
munculnya madzhab-madzhab fiqih pada periode ini. Dari sini pula kita dapat merumuskan
apa sebab-sebab munculnya madzhab pada periode ini, namun madzhab-madzhab
muncul pada periode ini tidak terbatas pada empat madzhab.
Untuk
bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan suatu masalah sukar
dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis
menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan
sahabat ada tiga, yakni; perbedaan sahabat dalam memahami nash-nash Al-Quran,
perbedaan riwayat dan ra’yu.
Belakangan
ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasa penting. Paling tidak,
karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika
pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah
usai, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami
modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari perkembangan fiqih secara
sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi pemikiran Islam, atau
lebih tepatnya aktual working bagi karakterisitik perkembangan Islam itu
sendiri.
Kehadiran
fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan secara
amat dominan, fiqih - terutama fiqih abad pertengahan - mewarnai dan memberi
corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian
mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai
historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi
perkembangan Islam berikutnya.
Jika
kita telusuri sejak saat kehidupan Nabi Muhammad SAW, para sejarawan sering
membaginya dalam dua priode yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Pada
periode pertama risalah kenabian berisi ajaran-ajaran akidah dan akhlaq,
sedangkan pada periode kedua risalah kenabian lebih banyak berisi hukum-hukum. Dalam
mengambil keputusan masalah amaliyah sehari-hari para sahabat tidak perlu
melakukan ijtihad sendiri, karena mereka dapat langsung bertanya kepada Nabi
jika mereka mendapati suatu masalah yang belum mereka ketahui. Aliran pertama,
yang berpusat di Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak menggunakan hadis dan pendapat-pendapat
sahabat, serta memahaminya secara harfiah. Sedangkan aliran kedua, yang
berpusat di Irak, banyak menggunakan rasio dalam merespon persoalan baru yang
muncul.
Perbedaan
pendapat dalam lapangan hukum tersebut merupakan sebuah hasil penelitian (ijtihad),
hal ini tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum
Islam, akan tetapi sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak
sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi pada sebuah hadits :
اختلاف
أمتى رحـمة...
Artinya :“Perbedaan pendapat di
kalangan umatku adalah rahmat”[1]
Ini
berarti, bahwa manusia bebas memilih salah satu pendapat dari berbagai pendapat
dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.
Pada
pembahasan selanjutnya akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar
belakang dan sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih, khususnya pada
empat mazhab yaitu Mazhab Hanafiyah, Mazhab Malikiyah, Mazhab Syafi’iyah dan
Mazhab Hambaliyah serta beberapa hal lain yang berhubungan dengan keempat
mazhab tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut.
1.
Apa
pengertian Madzhab?
2.
Dapatkah
umat Islam hanya menganut satu madzhab fiqih saja?
3.
Apa
dampak positif dan negatif dari adanya madzhab?
C.
Tujuan Pembahasan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas dapat disusun tujuan pembahasan sebagai berikut.
1.
Untuk
memaparkan tenang pengertian madzhab.
2.
Supaya
pembaca mengetahui boleh atau tidaknya umat Islam hanya menganut satu madzhab
dari keempat madzhab fiqih.
3.
Untuk
memaparkan tentang dampak positif dan negatif dari adanya madzhab.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Madzhab
Secara bahasa, kata madzhab (مذهب)
merupakan kata bentukan dari kata dasar dzahaba (ذهب)
yang artinya pergi. Madzhab adalah bentuk isim makan dan juga
bisa menjadi isim zaman dari kata tersebut, sehingga bermakna:
الطريق
ومكان الذهاب وزمانه
Artinya: Jalan
atau tempat untuk pergi, atau waktu untuk pergi.
Sedangkan pengertian mazhab menurut istilah adalah
aliran pemikiran atau perspektif di bidang fiqih yang dalam proses
perjalanannya menjadi sebuah komunitas dalam masyarakat islam di berbagai aspek
agama. Mazhab adalah jalan pemikiran
atau metode yang ditempuh oleh seorang imam Mujtahid dalam menetapkan hukum
suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Quran dan Hadits. Jadi, mazhab adalah
pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid untuk memecahkan
masalah atau menisbatkan hukum islam. Selanjutnya Imam mazhab dan mazhab itu
berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat islam yang mengikuti istinbath
Imam mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat imam mujtahid tentang masalah
hukum islam.
Ahmad
ash-Shawi al-Maliki menyebutkan bahwa makna etimologis dari madzhab adalah :
محل
الذهاب كالطريق المحسوسة
Artinya: Tempat
untuk pergi, seperti jalanan secara fisik.
Adapun
makna madzhab secara istilah yang digunakan dalam ilmu fiqih, didefinisikan
sebgai:
ما
ذهب إليه إمام من الأئمة في الأحكام الإجتهادية
Artinya:
Pendapat yang diambil oleh seorang imam dari para imam dalam masalah yang terkait
dengan hukum-hukum ijtihadiyah.
Pendapat
yang diambil oleh seorang imam ini kemudian diikuti oleh muridnya dari generasi
ke generasi, inilah yang kemudian dikenal sebagai madzhab fiqih.
1.
Riwayat
Singkat Imam-imam Madzhab
1.)
Riwayat
Singkat Imam Abu Hanifah (80 -150 H)
Imam
Abu Hanifah bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al-Kufi, lahir di Kufah,
Irak pada tahun 80 H. Ia hidup pada dua masa kekhalifahan yaitu Bani Umayyah
Abdul Malik bin Marwan dan Bani Abbasiyyah. Ia diberi gelar Abu Hanifah (suci, lurus)
karena sesungguhnya sejak kecil ia berakhlak mulia, dan menjauhi perbuatan dosa
dan keji.
Abu
Hanifah berasal dari keluarga berbangsa Persia (Kabul-Afganistan), ia dinamai
an-Nu’man sebagai ungkapan rasa simpati kepada salah seorang raja Persia yang
bernama Muhammad Nu’man bin Marwan (khalifah dari Bani Umayyah yang ke V). Abu Hanifah termasuk salah seorang tabi’in,
beliau bertemu dengan sahabat Anas bin Malik dan meriwayatkan hadits darinya.
Imam
Abu Hanifah belajar ilmu fiqih dari Hammad bin Abu Sulaiman selama 18 tahun.
Setelah gurunya wafat, maka penduduk Kufah menyerahkan persoalan fiqih dan
masalah-masalah yang mereka hadapi kepada Abu Hanifah. Pada tahun 130 H beliau
pergi ke Mekaah menetap untuk beberapa tahun, serta bertemu dengan murid Ibnu
Abbas. Imam Abu Hanifah meninggal pada tahun 150 H di Baghdad.
a.
Pemikiran
Madzhab Imam Hanafi
Madzhab
Hanafi dikenal sebagai Imam Ahlurra’yi dan fiqih dari Irak. Ia dikenal banyak
menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum, yang
tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama dalam madzhab ini meninggalkan kaidah
qiyas dan menggunakan kaidah istihsan. Muhammad Salam Madkur menguraikan
karakteristik manhaj Hanafi sebagai berikut :
Fiqih
Hanafi membekas kepada ahli Kufah yang mengembangkan aplikasi adat, qiyas, dan
istihsan. Bahkan dalam tingkatan imam, ia sering melewatkan beberapa persoalan;
yakni apabila tidak ada nash, ijma, dan qaul sahabat kepada qiyas, dan apabila
qiyasnya buruk (tidak rasional), Imam Hanafi meninggalkannya dan beralih ke
istihsan, dan apabila tidak meninggalkan qiyas, Imam Hanafi mengembalikan
kepada apa-apa yang telah dilakukan umat Islam dan apa-apa yang telah diyakini
oleh umat islam, begitulah hingga tercapai tujuan berbagai masalah. Alasannya
ialah, kaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus
tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka dinilai sebagai
hadits ahad.
Yang
menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqih) di kalangan madzhab Hanafi
adalah :
1) Al-Quran
2) Sunnah Rasulullah SAW
3) Ijma sahabat
4) Qiyas
5) Istihsan
6) Ijma dan Urf.
Berbagai
pendapat Abu Hanifah yang dibukukan oleh muridnya antara lain sebagai berikut:
a.
Zhahir ar-Riwayah dan an-Nawadir
yang dibukukan oleh Muhammad bin Hasan Asy-Syaibany
b.
Al-Kafi yang dibukukan oleh Abi Al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad Al-Maruzi (w. 344 H)
c.
Al-Mabsut (syarah Al-Kafi
dan dianggap sebagai kitab induk madzhab Hanafi) yang dibukukan pada abad ke-5
oleh Imam as-Sarakhsy
d.
Al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibnu Abi Laila, yang
dilestarikan oleh Imam Abu Yusuf yang dikenal sebagai peletak dasar usul fiqh
madzhab Hanafi
Madzhab
Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal dalam masalah
pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih. Oleh para pengamat
dianalisa bahwa di antara latar belakangnya adalah:
·
Karena
beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak
terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka beliau lebih memilih untuk
tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak
formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil
nash syar’i.
·
Kurang
tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau
tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang
beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di masa 100 tahun
pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum masa imam Al-Bukhari dan imam
Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits.
2.)
Riwayat
Singkat Imam Malik (93 – 179 H)
Imam
Malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Abi Amir al-Asbahi. Ia
lahir di Madinah pada tahun 93 H / 712 M. Nama al-Asbahi, nisbah pada Asbah
salah satu kabilah di Yaman tempat salah satu kakeknya datang ke Madinah dan ia
tinggal di sana. Kakeknya tertinggi Abu Amir adalah sahabat Nabi SAW dan
mengikuti perang bersamanya kecuali perang Badar.
Imam
Malik belajar agama dari ulama-ulama Madinah, diantaranya adalah: Nafi’ maula
Ibnu Umar, Ibnu Syahab az-Zuhri, Rabi’ah dan lainnya. Kecintaannya terhadap
ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Di
antara murid beliau adalah Ibnu Mubarak, al-Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahab,
Ibnu Qasim, al-Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya
al-Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, al-Auza’i, Sufyan ats-Tsaury,
Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as-Sahmi, az-Zubairi, dan
lain-lain. Imam Malik meninggal di Madinah tahun 179 H pada usia 86 tahun.
a.
Pemikiran
Madzhab Imam Maliki
Imam
asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqih madzhab Maliki tersebut dalam empat hal
sebagai berikut.
1) Al-Quran
2) Sunnah Rasulullah SAW
3) Amal penduduk madinah
4) Qiyas
Alasannya,
menurut Imam Maliki, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya
merupakan bagian dari sunnah Nabi SAW. Menurut para ahli ushul fiqh, qiyas
jarang sekali digunakan oleh madzhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan
tradisi penduduk Madinah daripada qiyas. Kitab yang disusun oleh imam Malik
berjudul al-Muwatha’.
3.)
Riwayat
Singkat Imam Syafi’i (150 – 203 H)
Imam
Syafi’i bernama lengkap Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Ustman bin Syafi
bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abd Yazid bin Hasyim bin Abd al-Muthalib bin Abd
Manaf. beliau lahir di Gaza (Palestina), pada tahun 150 H/756 M, berasal dari
keturunan bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW dari
ayahnya, garis keturunannya bertemu di ‘Abd Manaf (kakek ketiga Rasulullah
SAW).
Kecerdasan
Imam Syafi’i telah terlihat ketika berusia 7 tahun. Saat itu beliau telah
menghafal seluruh ayat Al-Quran dengan lancar. Imam Syafi’i menekuni bahasa
Arab di Dusun Badui Hundail selama beberapa tahun, kemudian kembali ke Mekah
dan belajar fiqih kepada Imam Muslim bin Khalid az-Zanni yang juga mufti kota
Mekah pada saat itu. Selanjutnya beliau
belajar kepada Imam Malik di Madinah setelah beliau menghafal kitab al-Muwatha’
karangan Imam Malik. Kemudian beliau ke Irak bertemu dan menimba ilmu kepada
murid Imam Abu Hanifah, yakni Muhammad bin Hasan. Di Irak inilah
pendapat-pendapat beliau yang dikenal dengan Qaul Qodim. Selanjutnya
beliau pindah ke Mesir pada tahin 198 H. Ketika pindah ke Mesir ini beliau
menyusun pendapat yang baru yang dikenal dengan Qaul Jadid. Beliau
meninggal di Mesir pada tahun 204 H.
Meskipun
beliau menguasai hampir seluruh disiplin ilmu tetapi Imam Syafi’i lebih dikenal
sebagai ahli hadits dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang
ilmu tersebut. Beliau meninggal dunia setelah 6 tahun tinggal di Mesir dan
mengembangkan madzhabnya dengan jalan lisan dan tulisan serta sudah mengarang
kitab ar-Risalah (dalam ushul fiqh) dan beberapa kitab lainnya.
a.
Pemikiran
Madzhab Imam Syafi’i
Keunggulan
Imam Syafi’i sebagai ulama fiqih dan hadits pada zamannya diakui sendiri oleh para
ulama pada masanya. Sebagai orang yang hidup pada zaman meruncingnya pertentangan
antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra’yi, Imam Syafi’i berupaya untuk
mendekatkan kedua aliran ini. Oleh karena itu, ia belajar kepada Imam Maliki
sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai
tokoh Ahlurra’yi. Dalam penetapan hukum Islam, Imam Syafi’i menggunakan;
1) Al-Quran
2) Sunnah Rasulullah SAW
3) Ijma
4) Qiyas
Imam
Syafi’i menolak istihsan sebagai salah satu cara mengistinbathkan hukum syara’.
Penyebarluasan pemikiran madzhab Syafi’i diawali melalui kitab ushul fiqihnya ar-Risalah
dan kitab fiqihnya al-Umm, kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para
muridnya yaitu Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H/846 M) seorang ulama besar
Mesir, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H/878 M), dan ar-Rabi bin
Sulaiman al-Marawi (w. 270 H).
4.)
Riwayat
Singkat Imam Hambali (164 -241 H)
Imam
Hambali bernama Abu Abdullah Ahmad bin Hambal asy-Syaibani, lahir di Mirwa
(Baghdad) pada tahun 164 H . Nasabnya bertemu dengan Nabi SAW pada Nizar bin
Ma’ad bin Adnan. Ia dibesarkan oleh ibunya lantaran sang ayah meninggal dunia
pada masa muda, pada usia 16 tahun, keinginannya yang besar membuatnya belajar
Al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama yang ada di Baghdad.
Kepandaian
Imam Hambali dalam ilmu hadits tidak diragukan lagi, putera sulungnya yakni,
Abdullah bin Ahmad mengatakan bahwa Imam Hambali telah hafal 700.000 hadits di
luar kepala. Hadits sebanyak itu kemudian diseleksinya secara ketat dan ditulis
kembali dalam kitabnya al-Musnad berjumlah 40.000 hadits berdasarkan susunan
nama sahabat yang meriwayatkan. Kemampuan dan kepandaiannya mengundang banyak
tokoh ulama yang berguru kepadanya dan melahirkan banyak ulama dan pewaris
hadist terkenal semisal Imam Bukhari dan Imam Muslim. Ahmad bin Hambal
meninggal pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 241 H.
a.
Pemikiran
Madzhab Imam Hambali
Imam
Ahmad adalah seorang pakar hadits dan fiqih. Imam Syafi’i berkata, ”Saya keluar
dari Baghdad dan tidaklah saya tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa dan
paling faqih melebihi bin Hambal”.
Di
antara murid Imam Ahmad adalah putra-putra beliau yakni Shalih bin Ahmad bin
Hambal dan Abdullah bin Ahmad bin Hambal . Shalih bin Ahmad lebih menguasai fiqih
dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadits. Murid yang lain adalah al-Atsram
dipanggil Abu Bakar dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad , Abdul Malik bin
Abdul Hamid bin Mihran , Abu Bakar al-Khallal , dan Abul Qasim. Salah satu
kitab fiqih madzhab Hambali adalah “al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.
Prinsip
dasar Madzhab Hambali adalah sebagai berikut.
1. An-Nusus (jamak dari nash), yaitu
Al-Quran, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’;
2. Fatwa Sahabat;
Jika terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan
hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Quran
dan sunnah Nabi SAW;
3. Hadits mursal atau hadits daif
yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma’;
4. Apabila dalam keempat dalil di
atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin
Hambal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Madzhab Hanbali
ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad bin Hambal. Kemudian dalam
perkembangan Madzhab Hanbali generasi berikutnya, madzhab ini juga menerima
istihsan, sadd az-zari’ah, urf; istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai
dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Para
pengembang Madzhab Hambali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin Hambal) di antaranya
adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Baghdadi
(w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq
Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali Al-Husain
Al-Khiraqi Al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Madzhab Hambali ini
merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hambal, dan masing-masing menyusun buku
fiqih sesuai dengan prinsip dasar Madzhab Hambali di atas.
Tokoh
lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Madzhab Hambali
adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini
tidak selamanya setuju dengan pendapat fiqih Imam Ahmad bin Hambal, mereka
dikenal sebagai pengembang dan pembaru Madzhab Hambali. Disamping itu, jasa
Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan penyebarluasan Madzhab Hambali
juga sangat besar. Pada zamannya, Madzhab Hambali menjadi madzhab resmi
Kerajaan Arab Saudi.
Berdasarkan
riwayat di atas dapat dilihat bahwa imam madzhab yang pertama (Imam Abu
Hanifah) berjarak 69 tahun dari wafat
Nabi Muhammad SAW yakni tahun 11 H, Imam Malik hidup sezaman dengan Imam
Syafi’i, dan Imam Ahmad, tetapi Imam Syafi’i dan Imam Ahmad tidak sezaman
dengan Imam Abu Hanifah.
2.
Perbedaan
Pendapat Imam Madzhab
Perbedaan
pendapat di antara imam Madzhab dalam satu masalah fiqih sangat banyak, berikut
ini diberikan beberapa contoh perbedaan tersebut, di antaranya.
a.
Mengusap
kepala dalam wudlu
-
Imam
Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat satu kali,
-
Imam
Syafi’i berpendapat tiga kali.
b.
Menyentuh
Kemaluan setelah wudlu
-
Imam
Abu Hanifah berpendapat tidak membatalkan wudlu secara mutlak.
-
Imam
Malik dan Imam Syafi’i berpendapat membatalkan wudlu secara mutlak.
-
Imam
Ahmad berpendapat tidak wajib wudlu hanya disunahkan.
c.
Menyentuh
wanita tanpa penghalang (pembatas)
-
Imam
Syafi’i berpendapat batal wudlu secara mutlak.
-
Imam
Abu Hanifah berpendapat tidak batal wudlu secara mutlak.
-
Imam
Malik dan Ahmad berpendapat batal wudlu jika diiringi syahwat.
d.
Duduk
dalam sholat
-
Imam
Abu Hanifah: duduk iftirosy baik untuk tasyahud awal maupun tasyahud akhir.
-
Imam
Malik : duduk tawaruk baik untuk tasyahud awal maupun tasyahun akhir.
-
Imam
Syafi’i: duduk iftirosy untuk tasyahud awal dan duduk tawaruk untuk tasyahud
akhir.
-
Imam
Ahmad: duduk iftirosy untuk shalat yang 2 rekaat, dan seperti madzhab Syafi’i
untuk sholat yang 3 atau 4 rekaat.
e.
Sholat
jamaah bagi laki-laki
-
Imam
Ahmad berpendapat fardlu ‘ain kecuali bila ada udzur.
-
Imam
Syafi’i, Abu Hanifah, dan Malik berpendapat tidak fardlu ‘ain.
f.
Tentang
daging Katak
-
Imam
Malik mengatakan boleh dimakan.
-
Imam
Ahmad mengatakan tidak boleh dimakan
g.
Tentang
daging Kuda
-
Imam
Syafi’i dan Ahmad mengatakan kuda itu halal.
-
Imam
Malik mengatakan kuda itu makruh.
-
Imam
Abu Hanifah mengatakan kuda itu haram.
Dan
masih banyak lagi perbedaan perbedaan pendapat di antara imam madzhab dalam
masalah fiqih. Perbedaan pendapat di antara imam madzhab tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
·
Adakalanya
seorang Imam tidak mendapatkan suatu hadits tentang suatu masalah, maka beliau
menggunakan qiyas atau fikiran, sedangkan imam yang lain mendapatkan hadits
dalam masalah tersebut.
·
Adakalanya
seorang Imam mengeluarkan pendapatmya dari suatu hadits atau riwayat yang
dianggapnya shahih, padahal bagi yang lain
hadits itu dianggap tidak shahih.
·
Ada
juga para imam itu tidak mendapatkan suatu hadits untuk suatu masalah sehingga
masing-masing menggunakan qiyas atau fikiran, sedang dikemudian hari orang
mendapatkan hadits itu.
·
Pemikiran
para imam dalam menimbang suatu masalah berbeda, sehingga keputusannyapun
berbeda.
B. Para Imam Tidak Mewajibkan Menganut Satu
Madzhab
Sering
kali orang menanyakan madzhab yang dianut oleh orang lain, bahkan kadang-kadang
ditekankan bahwa wajib untuk mengikuti salah satu madzhab tertentu. Di dalam
Agama Islam tidak ada satupun dalil dari Allah dan Rasul-Nya untuk mengikuti
salah satu madzhab tertentu. Umat Islam hanya diperintahkan untuk mengikuti
kebenaran, sedangkan kebenaran hanya terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi
SAW. Perhatikan petunjuk-petunjuk Allah SWT sebagai berikut:
Firman Allah
SWT:
وَاتَّبِعُوااَحْسَنَ
مَااُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ
بَغْتَةً وَاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ...
“Dan ikutilah
sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab
kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” [2]
Tidak
diragukan lagi bahwa Al-Quran adalah sebaik-baik apa yang Allah turunkan kepada
kita, dan sunnah Nabi SAW menjelaskan isi kandungan Al-Quran tersebut. Dalam
ayat tersebut Allah mengancam orang-orang yang enggan mengikuti Al-Quran dengan
azab yang datang dengan tiba-tiba.
ثمَّ
اتَيْنَامُوْسَ الْكِتَابَ تَمَامًاعَلَى الَذِى اَحْسَنَ وَتَفْصِيْلًالَكُلِّ
شَىْءٍوَهُدًى وَرَحْمَةً لَعَلَّهُمْ بِلِقَاءِرَبِّهِمْ يُؤْمِنُوْنَ...
“dan bahwa
(yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu bertakwa” [3]
Jalan
Allah SWT yang lurus adalah Al-Qur’an, maka Allah SWT perintahkan manusia
supaya mengikuti Al-Quran jangan mengikuti jalan-jalan selain Al-Quran, karena
hanya dengan mengikuti Al-Quran maka orang dapat menjadi bertakwa.
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةً لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْااللهَ
وَالْيَوْمَ الْأَخِرَوَذَكَرَاللهَ كَثِيْرًا...
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah” [4]
Suri
teladan bagi orang yang beriman adalah Rasulullah SAW, meneladani rasulullah
berarti mengikuti sunnah-sunnah beliau.
قُلْ
اِنْكُنْتُمُ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونى يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْلَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌرَحِيْمٌ...
“Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
[5]
Jalan
untuk memperoleh kasih sayang dan ampunan Allah SWT adalah dengan
mencintai-Nya, untuk dapat mencintai Allah SWT maka umat Islam harus mentaati
dan mengikuti petunjuk Rasulullah SAW.
Oleh
karena itu, umat Islam tidak diwajibkan mengikuti pendapat seseorang dalam
beramal, melainkan wajib mengikuti Al-Quran dan Sunnah, Syaihul Islam Ibnu
Taimiyyah menyatakan bahwa tidak wajib bagi umat Islam untuk bertaqlid kepada
seorang ulama dalam setiap pendapatnya dan tidak wajib mengikatkan diri dengan
salah satu madzhab. Umat Islam hanya boleh mengikatkan diri dengan apa yang
dikatakan oleh Rasul, bukan selainnya. Beliau berdalil dengan firman Allah
dalam QS. An-Nisa ayat 59 di atas.
C.
Dampak Adanya Madzhab Terhadap Perkembangan Fiqih
a.
Dampak Positifnya
Adanya
madzhab-madzhab tersebut berarti memberikan peluang yang cukup signifikan
terhadp fiqh islam untuk berkembang dan bahkan berpeluang untuk tersebar lebih
luas.
b.
Dampak Negatif
Sesudah
munculnya madzhab-madzhab muncul pula pola pikir fanatis terhadap madzhab yang
berdampak terhadap semakin menipisnya sikap toleransi bermadzhab dan bahkan
berdampak terhadap persaingan yang kurang sehat dan bahkan lebih dari itu
berdampak terhadap terjadinya permusuhan akibat fanatisme madzhab yang
berlebihan.
Setelah munculnya madzhab-madzhab fiqih
tersebut, muncul pula anggapan bahwa pintu ijtihad ditutup.
PENUTUP
A.
Simpulan
Kalimat
Madzhab berasal dari bahasa Arab yang bersumber dari kalimat Dzahaba,
kemudian diubah kepada isim maf’ul yang berarti “sesuatu yang dipegang dan
diikuti”, dalam makna lain pendapat yang dipegang atau diikuti disebut madzhab,
dengan begitu madzhab adalah “suatu pegangan bagi seseorang dalam berbagai
masalah”, mungkin lebih kita kenal lagi dengan sebutan aliran kepercayaan
atau sekte, bukan hanya dari permasalahan Fiqih tetapi juga mencakup
permasalahan Aqidah, Tashawuf, Nahwu, Shorof, dan Iain-lain.
Sering
kali orang menanyakan madzhab yang dianut oleh orang lain, bahkan kadang-kadang
ditekankan bahwa wajib untuk mengikuti salah satu madzhab tertentu. Di dalam
Agama Islam tidak ada satupun dalil dari Allah dan Rasul-Nya untuk mengikuti
salah satu madzhab tertentu. Umat Islam hanya diperintahkan untuk mengikuti
kebenaran, sedangkan kebenaran hanya terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
Dampak
positif adanya madzhab-madzhab tersebut berarti memberikan peluang yang cukup
signifikan terhadp fiqh islam untuk berkembang dan bahkan berpeluang untuk
tersebar lebih luas. Dampak negatif dari adanya madzhab-madzhab adalah dengan munculnya
pula pola pikir fanatis terhadap madzhab yang berdampak terhadap semakin
menipisnya sikap toleransi bermadzhab dan bahkan berdampak terhadap persaingan
yang kurang sehat dan bahkan lebih dari itu berdampak terhadap terjadinya
permusuhan akibat fanatisme madzhab yang berlebihan. Setelah munculnya
madzhab-madzhab fiqih tersebut, muncul pula anggapan bahwa pintu ijtihad
ditutup.
B.
Saran
1.
Untuk Pengajar
….
2.
Untuk Siswa
…..
Keterbatasan pengetahuan kami membuat kami sebagai penulis hanya
bisa membuat makalah ini apa adanya, dari hasil referensi-referensi yang kami
ambil dari buku-buku yang ada di perpustakaan pusat kampus Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang. Untuk pembaca yang berminat membuat tugas
makalah seperti kami,
disarankan untuk membuat makalah yang lebih baik dari yang kami
susun ini, sehingga hasil yang didapatkan mungkin akan menghasilkan karya yang
lebih baik dari makalah yang kami susun ini. Kritik dan
saran dari pembaca tentunya sangat kami harapkan untuk kesempurnaan penyusunan
makalah-makalah kami yang selanjutnya. Semoga makalah yang telah kami susun ini
bermanfaat bagi pembaca dan kita semua.
DAFTAR
RUJUKAN
Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI
Abu
Malik Kamal bin as-Sayid Salim. 2006, Shahih Fiqih Sunnah jilid 1, Jakarta:
Pustaka At-Tazkia.
Tanpa
Nama. Tanpa Tahun. Mengkaji Posisi Madzhab Fiqih dalam Peradaban Keilmuan
Islam, Dulu dan Sekarang. (Online), (http://www.Abufurqon.com), diakses
tanggal 20 November 2014.
Tanpa
Nama. Tanpa Tahun. Pemikiran Empat Madzhab Fikih. (Online), (http://www.punyasuhanda.blogspot.com),
diakses tanggal 20 November 2014.